”Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa.” (Mzm 67:2-3).
Pemazmur mempunyai keinginan kuat agar Allah memberkati dirinya. Itu merupakan keinginan wajar. Lumrahlah, meminta berkat dari Sang Pencipta.
Yang tak lumrah ialah ketika seseorang merasa tak perlu lagi berharap akan berkat Allah karena merasa mampu memberkati diri sendiri. Lebih tidak lumrah kala seseorang menolak berkat Allah.
Visi Pemazmur
Namun, pemazmur tidak meminta berkat itu untuk diri sendiri. Berkat Allah diharap bukan untuk dinikmati sendirian, tetapi agar kehendak Allah dikenal di seluruh bumi dan keselamatan yang dari Allah itu juga dirasakan semua bangsa. Pemazmur berkerinduan kuat agar segala bangsa, tak hanya Israel, mengenal Allah. Kerinduan yang kuat itu bisa disebut visi. Visi pemazmur—bisa kita ringkas dengan tiga kata—manusia mengenal Allah. Dan misinya ialah mewujudkan visi tersebut.
Misi umat Allah ialah memperkenalkan Allah ¬kepada dunia. Perkara apakah orang akan menerima atau menolak Allah, sejatinya bukanlah urusan kita lagi. Namun, kita perlu berupaya menolong orang mengenal Allah dan merasakan ¬kasih-Nya. Dalam pembukaan ¬katekismus Heidelberg, ¬tersurat ”Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati? Bahwa aku, de¬ngan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan ¬milikku, melainkan milik Yesus Kristus, Juru Selamatku yang setia.”
Itulah makna Injil: kita adalah milik Yesus Kristus. Kepada umat milik-Nya, Yesus berkata: ”Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu...” (Yoh 14:27). Damai sejahtera ¬merupakan kebutuhan utama manusia! Persolannya, berniatkah kita untuk membagikannya kepada orang lain atau kita nikmati sendirian?
Visi Paulus
Di Troas Paulus mendapatkan visi (Kis 16:9). Dia melihat ada seorang Makedonia yang berseru kepadanya, ”Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” Paulus bisa saja mengabaikan visi itu dan menganggapnya khayalan belaka. Cuma mimpi. Tetapi Lukas mencatat, Paulus tidak mengabaikannya. Paulus bertindak. Tampaknya, dia memahami bahwa visi itu berasal dari Allah. Oleh karena itulah, Paulus menaatinya. Paulus menanggapi visi itu dengan berlayar ke Makedonia agar damai sejahtera Allah juga dirasakan bangsa-bangsa lain.
Bisa saja orang mengatakan bahwa penyeberangan ke Makedonia merupakan ¬keinginan Paulus pribadi atau hanya impian Paulus belaka. Yang pasti,
Paulus tidak ingin impian tinggal impian. Paulus mewujudkan visi tersebut. Visi memang harus diwujudkan. Jika tidak diwujudkan, visi tak ubahnya bunga tidur atau lamunan kosong. Sebagus apa pun visi, harus diwujudkan. Tak ada gunanya mengagungkan visi tanpa realita. Tiada guna memuliakan visi tanpa karya. Itu sama halnya dengan pepesan kosong.
Visi Martin Luther King Jr
Dan dunia berubah karena visi. Pada 1958, Martin Luther King Jr berpidato: ”Aku bermimpi: suatu hari di buki-bukit merah Georgia anak-anak para budak belia dan anak-anak para pemilik budak itu duduk bersama di meja perjamuan. Aku bermimpi: keempat anakku pada suatu hari akan tinggal di suatu ne¬gara yang tidak menilai orang menurut warna kulitnya, me-lainkan menurut wataknya.”
Martin Luther King Jr tak hanya bermimpi. Dia melakukan aksi nirkekerasan demi mewujudkan visi. Dia memang mati tertembak. Tetapi, visinya lambat laun menjadi nyata. Diskriminasi rasial, meski masih ada, tak lagi banyak penggemarnya di kalangan masyarakat Amerika. Bahkan, banyak orang yakin terpilihnya Barack Obama sebagai presiden merupakan perwujudan visinya. Untuk menghormatinya, hari kelahiran Martin Luther King Jr menjadi hari libur resmi di Amerika. Dia disejajarkan dengan George Washington, pendiri Amerika Serikat. Dan hanya dua hari lahir merekalah yang menjadi hari libur Amerika.
Sejatinya, Martin Luther King Jr hanya mewujudkan visi Allah. Dia meyakini bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang.
Visi Yohanes
Itu jugalah visi yang ¬di¬dapat Yohanes di Pulau Patmos. Yohanes menjadi saksi akan hadirnya Yerusalem baru (Why 21:10).
Yerusalem yang baru memang berbeda dengan Yerusalem yang lama. Keberadaan Yerusalem baru sesuai dengan arti namanya: ”kota damai”. Persekutuan antara Allah dan manusia sungguh terwujud di kota itu.
Di Yerusalem yang baru itu manusia saling menyapa ¬sebagai sesama, yang setara kedudukannya di hadapan Allah. Semua orang adalah hamba dan Allahlah yang menjadi Raja!
Sesungguhnya, Yerusalem yang baru tak hanya persoalan masa depan di surga sana. Para pengikut Kristus ¬dipanggil untuk mewujudkan ¬kehidupan Yerusalem yang baru itu di bumi ini sekarang.
Itu hanya mungkin terjadi kala para pengikut Kristus mau berbagi berkat, damai sejahtera, kabar baik, yang berasal dari Allah sendiri. Itu berarti para pengikut Kristus harus menjadi manusia-manusia bervisi, yang siap ¬mewujudkan visi Allah.
Selamat berbagi!
Penulis adalah Pendeta GKJ Jakarta dan Sekum Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar