Sabtu, 11 Februari 2012

Kenangan

Sejak kepergianmu, kaucuri matahariku, kaugantikan dengan bulan milikmu, hingga setiap malam hanya redup yang menyelimuti musim milikku. Kapankah kaukembalikan matahari milikku? Kembalikan saja matahari itu! Ambil saja redup yang menyelimuti musimku! Kamu memang tak pernah pulang dari pergimu, karena kautak tahu rasanya rindu.
Seharusnya tak kubiarkan kamu masuk dalam hidupku. Sehingga tak perlu ada perpisahan dan pertemuan yang selalu ingin terulang. Seharusnya kubiarkan saja sikap-sikap anehmu itu. Sehingga tak akan pernah ada rasa menganggu yang disebut rindu itu. Inikah perpisahan yang kaumau? Mengakhiri suatu babak, menutup sebuah cerita pada suatu tempat… tanpa perundingan. Kalau begitu, keluarkan aku dari penjara nafasmu! Aku benci harus terjerat oleh bayang-bayangmu!
Tapi setidaknya, cerita kita pernah ada, Cinta pertama takkan mampu bisa disembunyikan, sekuat dan sedalam apapun kita membunuhnya. Sekarang, hanya kenangan dan cerita yang kita punya, karena apapun yang terjadi diantara aku dan kamu tak pernah punya hak untuk dibukukan menjadi dongeng pengantar tidur. Mungkin inilah yang menjawab semua ketakutanku, cintaku tak akan menyentuh masa depan. Tapi, salahkah jika kita harus melawan takdir, lalu menjadikan cinta ini yang penuh misteri itu menjadi masa depan kita?
Perpisahan saat  itu hanyalah sebagai pembanding… pembanding untuk menguji kekuatan dan keseriusan kita. Mampukah aku dan kamu bertahan dalam cobaan? Mampukah kita saling menguatkan? Mampukah kita kembali bertemu di masa depan? Sebenarnya apa yang Tuhan rencanakan?
Jelas saja cintaku dan cintamu tak punya mata, cinta kita buta! Cinta kita gelap! Tak mengapa kalau cinta kita tak mampu memberi terang, karena cinta yang jelas dan terang, bersih dan steril, terlalu suci dan putih, seperti bukan cinta lagi. Cinta yang terlalu terang menghilangkan kejutan! Jadi… biarkan Tuhan menyimpan kejutan yang ada. Biarkan takdir membuatku menunggu. Aku tidak pernah keberatan menunggu siapapun berapa lamapun selama aku mencintainya. Selama jawaban yang pasti telah menanti, selama kamu berjanji untuk kembali.
R… detak jantung yang tak beraturan ini masih milikmu. Rasa gugup yang menyentak masih menunggu hadirmu. Aku menyesal karena telah kutulikan telingaku, ketika alunan rindu begitu manis kaubisikkan.